Mengapa Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi? ~ Kampung Kabar
Skip to main content

Mengapa Kepala Daerah Tak Kapok Korupsi?

JAKARTA, KOMPAS.com - Daftar kepala daerah yang terjaring kasus dugaan korupsi terus bertambah.

Terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap sejumlah pejabat Pemerintah Kabupaten Bekasi.

Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin turut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek Meikarta tersebut.

Neneng merupakan kepala daerah ke-99 yang diproses KPK sejak 2004.

Kasus yang melibatkan Neneng adalah operasi tangkap tangan ke-23 pada 2018.

Sejak Januari hingga Oktober 2018, 25 orang kepala daerah telah diproses secara hukum, baik melalui operasi tangkap tangan maupun tidak.

Baca juga: Marak Korupsi Kepala Daerah, Komisi II Minta Aturan Dana Kampanye Diperbaiki

Operasi tangkap tangan terus dilakukan KPK, mengapa masih ada saja kepala daerah yang tak kapok korupsi?

Tersangka selaku Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin (tengah) tiba di kantor KPK, Jakarta, Senin (15/10/2018). KPK menetapkan 9 orang tersangka yang diduga terkait kasus perizinan proyek pembanguan Meikarta di Kabupaten Bekasi yang diantaranya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dengan barang bukti uang 90 ribu dolar Singapura dan Rp513 juta dengan total komitmen Rp13 miliar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/18.Sigid Kurniawan Tersangka selaku Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin (tengah) tiba di kantor KPK, Jakarta, Senin (15/10/2018). KPK menetapkan 9 orang tersangka yang diduga terkait kasus perizinan proyek pembanguan Meikarta di Kabupaten Bekasi yang diantaranya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dan Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro dengan barang bukti uang 90 ribu dolar Singapura dan Rp513 juta dengan total komitmen Rp13 miliar. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc/18.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan, ada tiga faktor dominan yang menyebabkan maraknya praktik korupsi oleh kepala daerah.

Pertama, ongkos politik yang mahal.

Menurut Agus, sistem demokrasi Indonesia yang dominan ditentukan oleh kuasa partai politik membuat persaingan semakin ketat. Untuk bertarung, dibutuhkan dukungan logistik dan pembiayaan yang kuat.

"Karena orang mau masuk ke sistem politik Indonesia kan harus melalui partai. Untuk masuk kalau bukan orang partai kan ada uang mahar. Suka atau tidak suka praktik itu ada. Dan itu selalu ditanya," kata Agus kepada Kompas.com, Selasa (16/10/2018).

Baca juga: KPK Tahan 6 Tersangka Kasus Dugaan Suap Perizinan Meikarta

"Dan karena mahal itu orang-orang yang di politik praktis itu cari uang sekalian. Electoral threshold-nya kan juga rendah, sehingga partai banyak. Semakin banyak partai semakin mahal biaya politiknya. Coba kalau 10 persen, itu pasti hanya 4-5 partai," lanjut dia.

Selain itu, biaya kontestasi politik juga tak murah.

Agus mencontohkan, biaya saksi untuk mengawasi tempat pemungutan suara dan pembuatan alat kampanye sangat besar. Di satu sisi, partai tak mungkin menanggung seluruhnya.

"Tidak mungkin digotong sendiri, atau partai mendukung sepenuhnya, enggak mungkin. Partai (modalnya) dari mana?" ujar Agus.

Faktor kedua, lanjut Agus, warisan pemikiran korup di era Orde Baru.

Baca juga: 11 Fakta Dugaan Suap Proyek Meikarta yang Seret Bupati Bekasi

Menurut Agus, sebagian besar kepala daerah dilahirkan dan dibesarkan oleh keluarga yang hidup pada era tersebut.

Salah satu hal yang paling menonjol adalah sikap permisif melakukan korupsi yang melekat pada waktu itu.

"Karena sistem pemikiran kita memang korup zaman Orde Baru. Kan pendidikan itu kan didapatnya begitu karena orangtuanya bisa kaya karena ikutan korupsi misalnya, dia juga ikut akhirnya," kata Agus.

"Atau yang tadinya miskin kemudian dia bisa macam-macam, sukses di pendidikan, dia berhasil. Dia lihat situasinya semua orang bermanipulasi, mencuri, korupsi dan sebagainya, dia ikut. Nah jadi secara sosial seperti itu," ujar dia.

Selain itu, Agus juga menyoroti kecemburuan yang cukup tinggi ketika melihat pihak lain memiliki kehidupan yang lebih baik.

Faktor terakhir yang dominan adalah rendahnya pendidikan budi pekerti. Padahal, pengembangan karakter seseorang tak hanya cukup mengandalkan pendidikan agama, melainkan juga budi pekerti.

Hal itu agar perilaku seseorang terhadap sesama manusia dan Tuhan menjadi seimbang.

"Nah itu jadi persoalan, karena tidak ada budi pekerti, dan fokus ke pendidikan agama saja. Harusnya diimbangi dengan keseimbangan itu. Menurut saya yang paling dominan itu tiga tadi," kata Agus.

.

.

.


Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi lanjutan nya di samping https://nasional.kompas.com/read/2018/10/16/09491221/mengapa-kepala-daerah-tak-kapok-korupsi

Comments

© 2020 Kampung Kabar

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.