Bawono Kumoro
Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan The Habibie Center
Tahun 2018 menjadi tahun tidak biasa bagi agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Hingga November, sebanyak 20 kepala daerah terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi. Yang terbaru adalah OTT terhadap Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu. Remigo diduga menerima suap Rp 550 juta terkait dengan proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Pakpak Bharat.
Tidak dapat dimungkiri, kontestasi elektoral (pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum) sering diwarnai berbagai macam persoalan hukum, terutama korupsi. Sejumlah kasus yang tengah ditangani KPK memiliki keterkaitan dengan kontestasi elektoral. Data menunjukkan jumlah kepala daerah yang terjaring OTT KPK tahun ini paling besar (20 kepala daerah per November 2018). Adapun pada 2017 sebanyak tujuh kepala daerah, sementara 2016 empat kepala daerah.
Secara umum, celah potensi korupsi politik dalam pemilu legislatif ataupun pemilihan presiden tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di pilkada. Memenangi kontestasi elektoral langsung bukan hal mudah. Visi-misi baik, rekam jejak bagus, serta program yang memukau tidak cukup menjadi modal untuk memenangi kontestasi.
Paling tidak, ada lima tahapan akan dilalui setiap kandidat yang memerlukan pendanaan cukup besar: membuat dan memasang alat peraga kampanye; tiket pencalonan dari partai politik; biaya kampanye; pendanaan saksi di tempat pemungutan suara; serta pengawalan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Lantas, bagaimana pendanaan politik itu dapat diperoleh secara ilegal? Paling tidak, menurut hemat penulis, terdapat lima pos anggaran dan kebijakan yang rawan disalahgunakan. Pertama, pemberian izin usaha. Para kepala daerah kerap memperdagangkan wewenang untuk memperjualbelikan izin usaha. Kasus dugaan suap terhadap Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin untuk pengurusan perizinan pembangunan Meikarta menjadi contoh paling aktual.
Kedua, hibah dan bantuan sosial. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 2016 memberikan wewenang terlalu besar kepada kepala daerah dalam memutuskan pemberian hibah dan bantuan sosial.
Ketiga, dana desa. Perlu menjadi kewaspadaan bersama bahwa pada 2019, yang bertepatan dengan tahun pelaksanaan pemilu, jumlah dana desa yang digulirkan pemerintah pusat mengalami kenaikan. Berdasarkan keterangan Kementerian Keuangan, anggaran dana desa tahun depan naik menjadi Rp 70 triliun. Ketika pertama kali diluncurkan pada 2015, alokasi dana desa sebesar Rp 20,67 triliun (Tempo.co, 2018).
Keempat, jual-beli jabatan. Jabatan seperti kepala dinas merupakan jabatan strategis di lingkungan pemerintah daerah. Praktik jual-beli jabatan kepala dinas sering terjadi berdekatan dengan pelaksanaan pilkada, sebagaimana dilakukan Bupati Jombang Nyono Suharli terhadap pelaksana tugas Kepala Dinas Kesehatan pada Februari lalu. Kelima, pengadaan barang dan jasa. Meskipun pengadaan barang dan jasa telah dilakukan secara terbuka, korupsi masih saja terjadi.
Harus diakui bahwa demokrasi di Indonesia masih dinodai korupsi. Persoalan keuangan partai politik dan dana kampanye menjadi salah satu faktor pendorong elite politik (kepala daerah atau legislator) melakukan korupsi. Masalah itu berpotensi kembali terulang pada masa mendatang.
Undang-Undang Pilkada dan Undang-Undang Pemilu belum mampu menjawab persoalan integritas pilkada. Pengaturan dan mekanisme sanksi di kedua regulasi tersebut belum berubah secara signifikan. Kerangka hukum bagi pelaksanaan pilkada dan pemilu selama ini belum mampu memberikan jaminan yang memadai bagi kehadiran sebuah pemilu demokratis dan melindungi kemurnian hak pilih warga.
Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 memiliki semangat dan saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada subsidi melalui anggaran negara bagi pengadaan iklan dan alat peraga. Di sisi lain, terbuka peluang kandidat menerima sumbangan dana lebih besar.
Menuding sistem pemilihan langsung sebagai biang keladi perilaku korup para elite politik sehingga harus kembali ke pemilihan tidak langsung (melalui legislatif) merupakan bentuk kesesatan berpikir. Keberadaan pemilihan langsung memang berkontribusi bagi kemunculan perilaku korup tersebut, tapi itu bukan faktor tunggal penentu.
Baca Lagi lanjutan nya di samping https://kolom.tempo.co/read/1154842/darurat-korupsi-kepala-daerah
Comments
Post a Comment