Budaya Daerah Pascakongres - SINDOnews.com ~ Kampung Kabar
Skip to main content

Budaya Daerah Pascakongres - SINDOnews.com

loading...

Budi Hatees

Peneliti di Sahata Institute

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, belum lama ini menggelar Kongres Kebudayaan Indonnesia (KKI) di Jakarta, 7-9 Desember 2018. Para pemangku kepentingan di daerah, sebagian besar pejabat pemerintah daerah yang terkait dengan urusan kebudayaan, diundang dalam acara penting itu. Mereka hadir untuk berkongres, mendengarkan para ahli menyampaikan pidato kebudayaan, menyaksikan para kreator menampilkan pertunjukan karya seni, dan berdiskusi sesama peserta tentang “apa itu kebudayaan”, “bagaimana memahamkan kebudayaan”,  “apakah kebudayaan di suatu daerah tumbuh dengan baik atau malah sebaliknya, tidak pernah di­pi­kirkan”, dan sebagainya.

Para peserta ini sebelumnya sudah mengikuti prakongres, yakni sebuah tahapan sebelum kongres digelar, yaitu peserta yang merupakan pejabat di provinsi dan kabupaten/kota diminta untuk merumuskan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah (PPKD) dari daerah masing-masing. PPKD kemudian digodok dalam kongres untuk merumuskan sebuah strategi kebudayaan, yakni sebuah rumusan atau semacam konsep menata dan mengelola kebudayaan Indonesia; sesuatu yang kemudian menjadi dasar-dasar untuk membuat rencana induk pemajuan kebudayaan (RIPK).   

RIPK ini akan menjadi semacam cetak biru (blue print) dalam menyusun dokumen rencana pembangunan jangka panjang (RPJP), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), dan rencana kerja pemerintah (RKP). Kita tahu, selama ini RPJP, RPJM, dan RKP menjadi dokumen resmi yang harus diacu oleh pemerintah daerah dalam menyusun rencana pembangunan jangka panjang daerah (RPJPD), rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD), dan rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) yang implementasinya berupa peraturan daerah tentang anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Persoalan Mendasar  

Sampai di sini timbul pertanyaan, apakah PPKD yang disampaikan oleh para pejabat daerah provinsi dan kabupaten/kota itu betul-betul merupakan pokok-pokok pikiran kebudayaan yang ada di lingkungan masyarakat dari daerah bersangkutan, mengingat metodologi penetapan pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah itu tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Disebut begitu karena para pejabat yang menghadiri pertemuan pra­kongres masing-masing disodori daftar isian yang harus mereka penuhi dengan apa yang disebut sebagai pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah.

Dengan kata-kata lain, penentuan mana yang menjadi pokok-pokok pikiran kebudayaan daerah dan mana yang bukan pokok pikiran, serta mana dari pokok pikiran kebudayaan daerah itu yang harus masuk dalam daftar, sama sekali tidak mendasar dan sulit dipertanggungjawabkan keilmiahannya.

Selama ini banyak pihak beranggapan, nasionalisme yang ditanamkan sebagai nilai kebangsaan telah membuat sejarah politik kita menjadi tidak sejalan (atau malah bertentangan) dengan kebudayaan. Integritas nasional sebagai kesepakatan baru bagi berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia diterima sambil menggerutu karena penerimaan itu berarti menghilangkan sentimen primordial seperti perasaan-perasaan yang erat hubungannya dengan kebudayaan.   

Karena itu, ketika reformasi bergulir yang kemudian pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten/kota) memiliki otonomi dan dengan sendirinya memiliki kekuasaan (sebetulnya untuk menumbuhkembangkan daya cipta), kebudayaan daerah berikut faktor-faktor yang dianggap given dalam kebudayaan seperti hubungan darah, kesamaan daerah, kesamaan asal-usul, bahasa ibu, atau malah marga mendapat peluang untuk bangkit dan memegang kekuasaan di daerah.  

Let's block ads! (Why?)

Baca Lagi lanjutan nya di samping https://nasional.sindonews.com/read/1362939/18/budaya-daerah-pascakongres-1544813222

Comments

© 2020 Kampung Kabar

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.