Munculnya tren 'bahasa Jakarta Selatan', percampuran bahasa Indonesia dan Inggris, dianggap sebagai sebuah kegagalan. Hal itu diungkapkan oleh Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta, Adinda Lutvianti, saat ditemui beberapa waktu sebelum acara Anugerah Sastera Rancage dimulai, Rabu (26/9) malam.
Menurutnya, masyarakat sekarang sudah tak lagi sadar akan pentingnya bahasa daerah sebagai kebudayaan Indonesia. Dari sekitar 700 bahasa daerah yang ada, penggunanya dinilai terus berkurang. Padahal, kata Adinda, bahasa daerah secara falsafah dapat mengurangi ketegangan radikalisme.
"Dalam bahasa daerah, ada petatah petitih yang selalu menempel pada kata-katanya karena tidak secara verbal diucapkan. Contoh, 'kamu tidak boleh begitu' kalau bahasa Jawa jadi, 'opo pantes ya, Nduk?' Padahal itu larangan, tapi lebih halus dan dekat," kata Dinda yang juga mengurus ajang penghargaan sastra daerah itu.
Dia melanjutkan, "Sekarang kita tak sadar bahwa media sosial melakukan radikalisme bahasa, lewat ujaran kebencian, hoax, dan ujaran kebencian itu sangat sedikit ruangnya di dalam bahasa ibu [daerah]. Karena bahasa ibu identik dengan bahasa yang juga muatan kearifan lokalnya kuat."
Sementara sastrawan Seno Gumira Ajidarma yang memberikan sambutannya dalam acara itu mengatakan bahwa kebudayaan setiap daerah adalah harta karun kebudayaan Indonesia, dan bahasa daerah adalah bagian penting dari kebudayaan itu.
"Menjaga, merawat, bahkan melahirkan kembali keberadaannya menjadi kewajiban tak terelakkan. Kesulitan besar dalam tugas itu, terutama disebabkan oleh kenyataan, bahwa bahasa setiap kelompok etnik itu terancam memudar karena kehadiran dan peran penting Bahasa Indonesia sendiri," ucapnya.
Selain Seno, Safrina Soemadipraja selaku perwakilan dari Yayasan Kebudayaan Rancage turut menyatakan bahwa keragaman bahasa merupakan warisan kemanusiaan. Dalam tulisan berjudul 'Rancage dan Pemertahanan Bahasa Ibu,' ia juga menyampaikan bahwa setiap bahasa merupakan perwujudan kearifan lokal yang unik dari masyarakatnya.
"Oleh karena itu, kepunahannya satu bahasa merupakan kepunahan peradaban. Kepunahan seperti ini harus dihindari, dan salah satu upayanya adalah dengan mempertahankan bahasa ibu yaitu bahasa pertama yang diperkenalkan dan dipakai manusia sebagai alat komunikasi," tulisnya.
"Film itu bahkan kemudian menjadi wakil di ajang Oscar. Lalu apalagi yang kurang? Kenapa tidak semua kembali ke bahasa ibu?" ujarnya.
Lebih lanjut, Adinda menyampaikan bahwa selain menggunakan sejumlah media tersebut, cara paling sederhana mengembangkan bahasa daerah adalah dari lingkungan terdekat seperti keluarga dan sekolah.
Bagaimana orang tua dapat berbagi kemampuan dan membiasakan untuk berbahasa daerah di dalam lingkungan keluarga.
Secara terpisah, Safrina pun berpendapat tentang hal serupa. Menurutnya, orang tua jangan dulu pesimis untuk mengajarkan bahasa daerah pada anak-anaknya.
"Jangan punya anggapan anak tidak akan mampu berbahasa banyak. Anak itu bisa multilungual. Anak itu bisa multilingual, di kota saja banyak anak-anak yang mencampur bahasa dengan bahasa Sunda," katanya dalam seminar 'Masa Depan Bahasa Ibu' di Taman Ismail Marzuki, Rabu (27/9).
Meski kondisi penggunaan bahasa daerah di lingkungan masyarakat dinilainya jauh lebih buruk, tetapi Safrina mengaku masih memiliki rasa optimis untuk masa depan bahasa tersebut.
"Kalau melihat di Jakarta, kota besar, urban, orang terbiasa berbahasa Inggris saya patut pesimis. Tapi ada yang membuat saya optimis, yaitu penutur bahasanya [daerah] masih ada, sekecil apapun saya punya optimisme. Bahasa itu memperhalus budi," katanya.
(agn/rea)
Baca Lagi lanjutan nya di samping https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20180928184040-241-334087/dewan-kesenian-sebut-bahasa-daerah-bisa-kurangi-radikalisme
Comments
Post a Comment